STOP BULLYING!! Belajar Dari Apa Yang Dialami Amanda Todd

 

Pengertian Bully 

Kasus bully pada saat ini kerap terjadi pada remaja, entah itu melalui online/internet ataupun di kehidupan nyata. Dalam istilahnya, bully diartikan sebagai prilaku kekerasan verbal maupun fisik, ancaman, atau paksaan untuk mengintimidasi seseorang. Sedangkan jika segala bentuk kekerasan yang dialami remaja melalui internet atau dunia maya, prilaku tersebut dikenal dengan sebutan Cyberbullying.

Kasus bully di internet akan dianggap Cyberbullying apabila yang terjadi adalah pelaku dan korban masih berusia di bawah 18 tahun dan secara hukum belum dianggap sebagai usia dewasa. Namun apabila salah satu pihak(atau justru keduanya) yang terlibat perselisihan sudah berusia di atas 18 tahun, maka kasus yang terjadi di dunia maya akan dikategorikan sebagai "Cyber Crime" atau "Cyber stalking" yang sering juga disebut dengan "Cyber Harassment".

Kronologi Yang Dialami Amanda Todd

Sejauh ini kasus yang membukakan mata akan pem-bully-an adalah peristiwa yang dialami gadis remaja yang beranama Amanda Todd (15 tahun) asal Kanada pada tahun 2012 silam. Amanda Todd menjadi sorotan publik karena ditemukan tewas bunuh diri pada 10 Oktober 2012, peristiwa tersebut berlatar belakang pem-bully-an.

Kematiannya yang menyayat hati menyadarkan kita akan dampak negatif prilaku bully jika terjadi pada remaja, terutama bagi para anak perempuan. Sebelum kematiannya, pada tanggal 7 September, ia mengunggah video terakhirnya di Youtube yang menceritakan tentang kehidupannya yang sering kali di bully oleh orang yang dikenal ataupun yang tidak dikenalnya.

Kasus itu bermula ketika Todd mulai mengenal situs perkenalan online melalui webcam, pada awalnya ia merasa senang karena banyak yang menyanjungnya. Satu ketika, seseorang yang ia kenal melalui video chat menyuruhnya untuk membuka bagian dadanya dan ia pun melakukannya tanpa dipertimbangkan kembali. Satu tahun kemudian, seorang temann menghubunginya di Facebook, memerasnya dan mengancam akan menyebar luaskan gambar-gambar "topless" nya apabila permintaanya tidak dipenuhi.

Di tahun 2010, polisi mendatangi rumahnya dan mengabari prihal foto-fotonya yang tersebar di internet. Saat itu Todd merasa cemas dan depresi karena kehidupannya di eksploitasi secara seksual melalui internet. Pada akhirnya, ia dan keluarga berpindah tempat tinggal. Pada tahun berikutnya, seseorang menggunakan profil Fb tentang dirinya dan memasang foto telanjangnya pada gambar profil. Pembully-an pun dimulai, dari internet maupun kehidupan nyata, teman sekolah dan lingkungan sekitarnya merendahkan dirinya, bahkan ada yang menginginkanya mati. Sampai akhirnya Todd semakin depresi dan mulai mengkonsumsi obat-obatan dan alkohol.

Pada 7 september, ia mengirim video berdurasi 8 menitan yang menceritakan tentang kehidupannya yang mengharukan melalui kertas yang telah ditulis sebelumnya, dan ternyata itu adalah video terakhir di masa hidupnya. Kini ibu dari Todd membentuk gerakan yang bernama Amanda Todd Trust yang menerima donasi di Royal Bank of Canada yang mendukung pendidikan kesadaran anti-bullying dan beberapa program untuk menagani remaja dengan permasalahan mental. Bererapa fanpage di Fb pun dibuat seperti yang bernama Rest In Paradise Amanda Todd, untuk pendekatan terkait Anti-Bullying dan mengenang mendiang Amanda Todd.


Penelitian Tentang Dampak Bully


Dalam sebuah penelitian di Kanada, ditemukan bahwa seperempat dari orang tua yang disurvei, menyatakan bahwa anak mereka terlibat pada insiden cyberbullying. 66% lainnya mengatakan bahwa anak mereka menjadi korban dan 16 % mengaku anak mereka pelakunya, dan sisanya menyatakan anak mereka menjadi saksi dari insiden semacam itu. Survei lain dari US juga menemukan bahwa anak perempuan lebih sering terlibat dalam insiden cyberbullying dketimbang laki-laki. Angkanya cukup fantastis, 86% orang tua mengaku anak perempuannya telah menjadi korban, sementara persentase yang mengaku anak laki-lakinya menjadi korban hanya menyentuh 55%.

Korban Pada kasus bullying akan mengalami trauma berkepanjangan, hal tersebut mempengaruhi sisi psikologis pada remaja yang juga memperburuk Intelegence Quotient (IQ). Pada kasus tertentu, jika bullying dirasakan oleh remaja terus menerus, pada umumnya akan merasakan stress yang bisa mengakibatkan sang remaja merasa hidupnya tidak berharga dan akhirnya rela untuk melukai dirinya sendiri. Mengutip dari halaman web stopbullying.gov , bully-victims juga dapat berakibat pada meningkatnya perasaan sedih dan kesendirian pada korban, termasuk pada perubahan pola tidur dan pola makan akibat kecemasan serta hilangnya minat pada kegiatan yang dia sukai.

Untuk para remaja, diharapkan untuk tetap menghargai dirinya sendiri terlebih dahulu, kemudian barulah belajar menghargai orang lain. Jangan terlalu mengekspos diri melalui jejaring sosial, mulailah mengatahui batasannya mana yang layak dan tidak. Sebelum menyesal sudah tidak berguna, lebih baik berteman secara langsung dan menggunakan media sosial untuk hal yang positif yang juga tidak berlebihan. Jangan termakan istilah "karena cinta". Untuk para orang tua harus bisa memahami kondisi psikologis anak dan tetap memberikan kasih sayang yang cukup. Semoga kejadian seperti yang dialami Amanda Todd  sudah tidak ada lagi disekolah ataupun lingkungan sosial.

Video terkait Amanda Todd melalui Youtube. Peringatan: dibagian akhir video  ada frame yang kurang baik, sebaiknya untuk tidak mencontoh hal semacam itu.



Kurang lebih terjemahan dari kata-kata yang ditulis dalam video tersebut seperti dibawah ini:

Hello! Namaku Amanda Todd, aku memutuskan untuk menceritakan kisahku yang tak berujung kepada kalian. Waktu kelas 7, aku bersama teman-teman bermain  melalui obrolan video, bertemu dan mengobrol dengan teman baru. Disana, aku mendapat sanjungan seperti “Cantik”, “Menarik”, “Sempurna”, dan lainnya. Kemudian aku patuh saja ketika ada yang memintaku untuk menunjukkan bagian dadaku tanpa mengenakan pakaian.

Setahun kemudian, tiba-tiba seseorang tanpa nama mengirimiku pesan di halaman profil Facebook. Pesan itu berbunyi, “Kalau kamu tidak mau menunjukkan sesuatu yang lain lagi, aku akan sebarkan fotomu,”. Pria itu mengaku memiliki alamat rumah, data tentang keluarga, teman-teman, dan semua yang kukenal.

Hingga suatu hari, saat libur pada Hari Natal, pukul 4 pagi, polisi mengetuk pintu rumahku karena foto setengah telanjang itu tersebar luas di internet. Aku sakit, shock, dan depresi. Hidupku semakin tak tenang, panik dan tak jelas. Sempat berpindah rumah, dan terlibat dengan obat-obatan serta alkohol. Bukannya menyelesaikan masalah, justru semakin resah bahkan sampai tak bisa keluar rumah lagi.

Setahun kemudian, orang yang memerasku kembali muncul dan mengirim daftar teman-teman serta sekolahku, dan membuat Halaman Facebook. Orang itu menggunakan fotoku sebagai avatar profil. Aku hanya bisa menangis semalaman, kehilangan semua teman-temanku, dan rasa hormat dari mereka… untuk kedua kalinya. Tak satupun kini menyukaiku. Mereka mengkata-kataiku, menghakimiku. Foto itu tak pernah bisa kudapatkan kembali, selamanya akan ada di luar sana.

Aku semakin depresi, bahkan mulai menyakiti diriku sendiri. Aku berjanji takkan pernah lagi melakukan hal itu. Aku tak punya teman lagi, tiap kali makan siang di sekolah, aku makan sendirian. Akupun pindah sekolah lagi, dan keadaan agak membaik meski pengucilan masih terjadi. Ketika makan siang, aku makan di perpustakaan setiap hari.

Sebulan setelah itu, aku bertemu seorang teman pria yang lebih tua. Kami saling bertukar pesan singkat melalui telpon sellular, hingga satu ketika ia mengatakan menyukaiku, meski aku tahu ia sudah memiliki pacar. Kemudian, ia mengundangku untuk bertemu di rumahnya, pada saat pacarnya sedang liburan, akku memenuhi undangannya. Sebuah kesalahan besar.

Kamipun terlibat hubungan intim. Aku pikir ia benar-benar menyukaiku. Seminggu kemudian, aku menerima pesan singkat di ponsel, “Keluar dari sekolahmu!” Rupanya pacar sang teman pria itu, beserta lima belasan orang lain mendatangiku ke sekolah, dia pun ada di antaranya. Sang pacar bersama dua orang lain meneriakiku di depan sekitar 50 orang anak lain di sekolah baruku, “Lihat, tak ada satupun yang menyukaimu!”

Seorang anak memprovokasi si pacar untuk memukuliku, dan terjadilah kekerasan. Aku didorong hingga terjatuh, dan dipukuli beberapa kali, sementara ada anak-anak lain memvideokan peristiwa itu. Aku benar-benar sendirian saat itu. Aku merasa menjadi lelucon di dunia ini, tak seorangpun layak diperlakukan seperti ini. Aku sendirian, menolak bahwa apa yang terjadi semua karena kesalahanku, aku yang memulainya. Aku tak mau pria yang kupikir menyukaiku itu disakiti. Tapi ternyata yang ia inginkan hanyalah seks.

Seseorang kembali memprovokasi untuk memukuliku. Seorang guru datang melerai, tetapi membiarkanku tersungkur di selokan. Hingga akhirnya Ayah datang menolongku. Rasanya aku ingin mati saja. Sesampai di rumah, aku meminum cairan pemutih. Rasanya aku sudah mati, benar-benar mati. Tetapi ambulan datang, dan membawaku ke rumah sakit. Aku selamat.

Setelah kembali dari rumah sakit, yang aku lihat di Facebook adalah komentar-komentar pedas seperti, “Ia layak mendapatkannya”, atau “Sudah dibersihkan belum  lumpur yang mengotori rambutmu?”, bahkan ada komentar, “Aku harap ia mati saja!” Tak ada satupun yang peduli.

Aku berpindah ke tempat lain, ke sekolah baru, ke kota ibuku. Aku tak mau mempermasalahkan insiden tersebut, karena aku ingin bangkit. Sekitar enam bulan berlalu, ledekan melalui kiriman di Facebook tentang berbagai macam cairan pemutih, dan menandaiku pada foto tersebut terus terjadi. Komentar-komentar kali ini tak kalah pedasnya, seperti “Ia harus mencoba pemutih yang lain”. atau “Aku harap ia mati kali ini, itu bukanlah hal bodoh untuk dilakukan”, bahkan ada pula yang menginginkan aku mencoba bunuh diri lagi.

Aku tak tahu kenapa ini harus terjadi. Aku telah berbuat salah, dan kenapa kalian terus mengikutiku? Aku bahkan sudah tinggalkan kota kalian. Aku hanya bisa menangis saat ini. Setiap hari aku selalu berpikir, mengapa aku masih ada di sini? Ketakutanku semakin menjadi sekarang, aku tak berani keluar meski liburan musim panas. Semua masa laluku, kehidupanku tak pernah menjadi lebih baik. Tak bisa ke sekolah, bertemu dan bersama teman-teman… Aku sangat depresi…

Di tengah tekanan yang bertubi-tubi, akhirnya aku larut dalam depresi dan kembali untuk menyakiti diri sendiri. Aku harus mengkonsumsi obat anti depresi, bahkan sempat masuk ke rumah sakit lagi selama dua hari karena over dosis. Hidupku seolah terhenti. Tak ada yang tersisa dari hidupku sekarang. Aku tak punya siapapun, aku butuh seseorang…



Tidak ada komentar untuk "STOP BULLYING!! Belajar Dari Apa Yang Dialami Amanda Todd"