KISAH SEPUTAR PERISTIWA PKI (DENDAM YANG HARUS BERAKHIR)


Bangsa ini tak akan pernah bergerak lebih maju jika kita tidak berani jujur berbicara tentang sejarahnya sendiri. Mengulas kembali tentang berbagai peristiwa tidak mengenakkan yang pernah terjadi pada bangsa ini. Sangat sedikit kalangan yang mencoba menulis secara jujur dan berimbang tentang apa pernah terjadi. Masing-masing punya versinya sendiri. Akibatnya bukannya rekonsiliasi yang kita dapatkan, justru sebaliknya; saling menyalahkan bahkan cenderung menjadi pengaburan peristiwa dalam sejarah.

Jika secara terbuka menanggapinya, pihak PKI maupun lawan-lawannya memiliki kesalahannya tersendiri. Ini bukanlah pertarungan antara si hitam melawan si putih. Ini merupakan kisah lama tentang kekejaman anak bangsa terhadap sesama anak bangsa.

Jika kita sering mendengar perkataan "PKI adalah korban", kita putar kembali waktu ke masa lalu. Dimulai dari kekejaman PKI terlebih dahulu, marilah kita lihat beberapa peristiwa berikut ini:

Peristiwa Madiun pada September 1948. Para pengikut PKI melakukan penangkapan terhadap Bupati Magetan Sakidi dan dibawa ke Soco. Para pengikut PKI itu meletakkan sebuah tangga melintang diatas sebuah sumur lantas membaringkan dan mengikat Sakidi diatas tangga tersebut. Tanpa belas kasihan, tubuhnya digergaji secara perlahan-lahan. Jeritan kesakitan sang Bupati justru makin memacu semangat mereka. Tubuhnya hanya mampu berkelejotan menahan sakit tak terperi, kemudian ia jatuh pingsan. Aksi menggergaji dilanjutkan hingga tubuh itu terputus.

Mayat Sakidi yang telah terbelah menjadi dua itu langsung dijatuhkan ke dalam sumur yg menganga di bawahnya. Istri Sakidi yang mengetahui suaminya dieksekusi di Soco datang dengan menggendong dua anaknya yg masih berumur 1 dan 3 tahun. Istri Sakidi bersikeras ingin membawa mayat suaminya. Merasa terganggu, akhirnya merekapun membunuh istri Sakidi didepan kedua anaknya.

Sementara itu di Pati, seorang wanita dibunuh oleh pengikut PKI dengan cara ditusuk di di bagian duburnya dengan sebuah bambu runcing. Dalam kondisi tersebut, lalu ditancapkan di tengah sawah layaknya orang-orangan pengusir burung. Suasana teror pun tercipta di tengah-tengah warga. Di Wirosari kejadian serupa terjadi pada seorang wanita, kali ini bagian vaginanya yang ditusuk bambu runcing lalu ditancapkan di tengah sawah.

Di Gorang-gareng PKI mengadakan acara pesta gambyong yang meriah untuk mengumpulkan masyarakat. Namun di tengah acara tiba-tiba mereka menciduk warga yang tidak seideologi. Caranya yaitu dengan menanyakan sandi tertentu. Jika tidak bisa menjawab dengan benar, maka warga tersebut akan langsung ditahan. Mereka dikumpulkan menjadi satu di gudang pabrik gula Redjosari.

Salah satu diantara mereka itu adalah Kiai Soehoed, pengasuh Pondok Pesantren Sabilil Muttaqin, Takeran, Magetan. Warga yang ketakutan itu lantas diberondong melalui jendela gudang. Maka takbir dan jeritan pun berkumandang di tengah malam itu. Para korban baik yg sudah mati maupun yang masih hidup kemudian dibawa ke sebuah sumur tua di Soco. Tanpa memilah antara yang hidup dan mati, mereka semua dicemplungkan ke dalam sumur. Yg masih bernafas pun dikubur hidup-hidup.

Masih peristiwa di daerah Madiun, KH Soelaiman Zuhdi Affandi juga digelandang PKI dan dikubur hidup-hidup saat mengambil air wudhu. Di Wonogiri PKI menculik dan menyekap sedikitnya 212 lawan-lawan politiknya. Mereka terdiri dr polisi, TNI, pejabat pemerintah, wedana, dll. Mereka disekap di sebuah bekas gudang dinamit. Seluruh tawanan itu akhirnya dieksekusi pada tgl 4 Oktober 1948.

Setelah Madiun dikuasai kembali oleh TNI, PKI melarikan diri ke Desa Kresek, kabupaten Dungus. Dalam keadaan terdesak mereka membantai semua tawanan yang ada. Para korban ditemukan dengan kepala terpenggal dan luka tembak. Setelah pemberontakan Madiun berhasil dikalahkan, tampaknya Soekarno memaafkan begitu saja peristiwa tersebut.

Benar adanya tokoh-tokoh seperti Amir Syarifudin dan Muso dieksekusi langsung dalam operasi penumpasan pemberontakan tersebut, namun tidak ada pengadilan terhadap para tokoh lain yang melakukan pembunuhan secara keji. Sehingga dengan berbagai pemutar balikan fakta, akhirnya PKI bisa bangkit kembali.

Setelah melakukan berbagai peristiwa, kali ini mereka mempersiapkan diri utk pemilu 1955. PKI melakukan agitasi dan propaganda dalam berpolitik sehingga suasana politik tidak hanya panas, tapi juga penuh ketegangan dan rawan konflik. PKI sangat ofensif membuat jargon2 dan melakukan stempelisasi ‘mematikan’ terhadap pihak oposisinya, salah satunya dengan istilah "Tujuh Setan Desa". Dan para kyai dianggap sebagai salah satu dari setan desa yang harus dibabat.

Kondisi seperti itu tentu mengakibatkan perasaan terancam bagi para kyai dan santrinya sehingga mereka selalu berjaga dari serangan PKI. Meski dengan cara-cara yang demikian ofensif dan menimbulkan permusuhan, nyatanya PKI sangat berhasil pada pemilu 1955. PKI meraih posisi 4 besar di bawah PNI, Masyumi dan NU. Sekaligus menjadikan PKI sebagai Partai Komunis terbesar ketiga didunia.

Pasca Dekrit Presiden 5 Juli 59, PKI sadar untuk mencapai tujuannya mereka harus memanfaatkan figur Soekarno. Itu sebabnya PKI tampil sebagai pendukung utama Soekarno, meskipun mereka sudah berhasil menjadi Partai Komunis terbesar ketiga didunia. Namun di pihak lain, mereka menelikung Soekarno untuk menghantam lawan-lawan politiknya.

Makin lama sikap mereka semakin ofensif. Fitnah, penghinaan hingga pembunuhan dilakukan PKI di berbagai tempat. Usaha memobilisasi massa dilakukan untuk tindakan kekerasan yang dikenal dengan ‘aksi sepihak’. Alasan aksi sepihak ini adalah untuk ‘land refom’, memberikan hak tanah kepada kaum miskin. Tentu saja didukung oleh para petani miskin. Masalahnya pada proses pembagian tanah ini dilakukan secara sepihak oleh PKI. Main kapling begitu saja. Lebih parah lagi tanah yang di-kapling-kapling itu ada tanah wakaf dan tanah pribadi orang yang diambil alih dan ditanami begitu saja.

Ada ebagian tanah tersebut milik orang2 PNI dan para kyai NU. Tentu saja hal ini mengakibatkan terjadinya konflik horizontal. Merasa diatas angin, PKI semakin agresif. Tanah bengkok milik desa pun dirampas, bahkan ada sekolah negeri yang diklaim milik PKI. Tidak cukup sampai disitu, PKI pun mulai melakukan pnyerangan dan pengrusakan terhadap tempat-tempat ibadah.

Beberapa aksi sepihak PKI dan underbouwnya BTI antara lain: peristiwa Kendeng Lembu, Genteng, Banyuwangi (13 Juli 1961), Peristiwa Dampar, Mojang, Jember (15 Juli 1961), Peristiwa Rajap, Kalibaru, dan Dampit (15 Juli 1961), Peristiwa Jengkol, Kediri (3 November 1961), Peristiwa GAS di kampung Peneleh, Surabaya (8 November 1962).

Kondisi seperti itulah yang memicu para kyai membidani lahirnya Banser. Banser memang dibentuk dlm rangka menghadapi aksi sepihak PKI. Kelak Banser menjadi aktor utama dalam ‘aksi balas dendam’ yang sangat berdarah dalam perjalanan sejarah republik ini. Hasil kongkret dari pembentukan Banser adalah perlawanan terhadap aksi sepihak PKI makin kuat. Bentrok fisik Banser dengan PKI pun terjadi.

Pada 13 Januari 65 terjadi Peristiwa Kanigoro. Ribuan Pemuda Rakyat (PR) dan BTI melakukan penyerbuan ke ponpes di kanigoro, Kediri. Saat itu di Kanigoro memang sedang diselenggarakan Mental Training Pemuda Pelajar Indonesia (PII). Oleh PKI kegiatan tersebut dianggap sebagai kegiatan Masyumi yang saat itu memang sudah dinyatakan sebagai partai terlarang oleh Soekarno.

Mereka menyerbu masuk ke dalam pesantren dengan bersenjatakan kelewang, golok, pedang dan arit. Sambil berteriak-teriak kasar “ganyang serban!”, “ganyang santri!”, “ganyang kapitalis!”, “ganyang Masyumi!”. Mereka juga menyerang rumah Kyai Jauhari, pengasuh Pondok Pesantren Al-Jauhar dan adik ipar pengasuh Pondok Pesantren Lirboyo, Kiai Makhrus Aly. Ayah Gus Maksum itu diseret dan ditendang ke luar rumah

Aksi sepihak lain juga dilakukan oleh BTI, PR dan Gerwani pd tgl 14 Mei 1965 yang dikenal dengan Tragedi Bandar Betsy, Pematang Siantar. Mereka secara tidak sah menguasai tanah milik negara dengan melakukan penanaman secara liar di areal lahan milik PPN Karet IX Bandar Betsi. Pelda Sudjono yang sedang ditugaskan di perkebunan tersebut mencoba memberi peringatan agar aksi dihentikan. Bukannya pergi, mereka justru berbalik menyerang dan menyiksa Sudjono. Akibatnya Sudjono tewas dengan kondisi yang amat menyedihkan

Anak salah seorang pembunuh Sudjono itu bernama Muchtar Pakpahan. Kelak dia menjadi aktifis di organisasi buruh SBSI. Sekarang kita bisa memahami mengapa aksi-aksi buruh saat ini banyak kemiripan dengan aksi-aksi sepihak PKI di masa lalu.

Sedikit gambaran mengenai kekejaman PKI beserta ormas-ormas underbouwnya. Ribuan korban nyawa melayang akibat ulah mereka. Dari poin-poin diatas kita bisa mengetahui bahwa terjadi penumpukan dendam sosial dan politik terhadap PKI. Pihak PKI telah menunjukkan diri kepada rakyat Indonesia sebagai satu partai yang menggunakan kekerasan dan fitnah dalam mencapai tujuannya.

Serangan-serangan politik, agitasi dan fitnahnya berhasil mencipta ketakutan mental yang meluas dan pada Peristiwa G30S lah menjadi titik balik bagi PKI. Mereka yang tadinya ofensif hantam kiri kanan, kini menjadi pihak yang sangat diburu. Pembahasan kali ini tidak ingin masuk pada polemik siapa yang bertanggung jawab terhadap G30S. Butuh pembahasan tersendiri tentang hal itu.

Langsung pada pembahasan akibat dari G30S terhadap para anggota dan simpatisan PKI serta orang-orang yang dituduh PKI. Berbeda dengan aksi-aksi sepihak PKI yang dilakukan secara sporadis, penumpasan PKI terjadi dlm tempo yang relatif singkat. Namun dilakukan secara serempak, terkoordinir dg rapi dan sangat efisien. Tidak heran korbannya pun jauh lebih besar.

Laporan komisi pencari fakta yang dipimpin Oei Tjoe Tat merilis jumlah korban 78.000 jiwa saja. Namun bila mengikuti angka yang pernah disebut Jenderal Sarwo Edhie Wibowo, mungkin saja peristiwa itu menelan korban 3 juta orang. Angka tersebut masuk akal mengingat PKI pernah mengklaim memiliki anggota aktif sebanyak 3,5 juta orang. Belum termasuk underbouwnya. Jika sebelumnya yang dibahas aksi-aksi PKI yg kejam, maka yang dilakukan oleh lawan2nya tidak kalah kejam dan mengerikan.

Sungguh menyedihkan, dalam konflik politik yang berdarah-darah ini banyak orang2 tak berdosa yang menjadi korbannya. Mereka inilah korban sesungguhnya! Mereka tiba-tiba harus mengalami neraka dunia hanya karena terfitnah atau pernah berteman dengan orang PKI. Strategi yang digunakan dalam pemusnahan anggota PKI ini adalah ‘Nabok Nyilih Tangan’. Militer gunakan warga sipil untuk membantai.

Dalam hal ini Banser mendapat dukungan penuh dari militer dalam menjalankan misi ‘sucinya’. Kelak strategi serupa digunakan oleh pihak militer untukk menghadapi mahasiswa tahun 1998-1999 dengan Pam Swakarsanya. Berikut adalah sedikit dari berbagai aksi kekejaman yang dilakukan untuk menghancurkan PKI hingga ke akarnya:

Di Lawang, Kab Malang. Para anggota dan simpatisan PKI yang ditangkap diikat tanggannya oleh sekelompok pemuda Ansor, dengan disertai & dilindungi satu unit tentara membawa mereka ke tempat pembantaian, yaitu di desa Sentong dan Kebun Raya di Purwodadi. Disana mereka dipukuli dengan pentungan dan besi dan benda-benda keras lainnya. Setelah para korban tewas, kepala mereka dipenggal.

Seorang remaja lelaki anggota IPI anak Tjokrodiharjo yang merupakan anggota komite PKI di Kecamatan Singosari, ditangkap oleh pihak Ansor. Tubuhnya diikat ke sebuah jip dan diseret di belakanggnya. Awalnya si anak berlari, namun jip makin lama makin kencang. Si anak remaja ini akhirnya tersungkur dan terseret di jalanan yang penuh kerikil tajam hingga tewas. Wajahnya hancur tak bisa dikenali.

Oerip Kalsum, lurah wanita desa Dongkol di Singosari, seorang anggota PKI. Sebelum dibunuh, dia disuruh membuka semua pakaiannya. Tubuh dan kemaluannya dibakar. Lalu dia diikat, dibawa ke desa Sentong di Lawang, di mana lehernya diikat dan dia disiksa sampai tewas

Di Ngeglok. Japik, seorang tokoh terkemuka di Gerwani cabang setempat dibunuh bersama suaminya. Sebelum dibunuh dia diperkosa berulang kali dan kemudian tubuhnya dibelah mulai dari payudara hingga kemaluannya.

Nursam, seorang anggota PGRI Non Vaksentral dipotong-potong tubuhnya dan potongan-potongan tubuhnya itu digantung di rumah-rumah kawan-kawannya sebagai bentuk peringatan.

Sutjipto, bekas lurah Nglegok seorang anggota PKI berhasil ditangkap. Sebelum dibunuh dia dikebiri terlebih dahulu kemudian dibunuh.

Ny. Djajus, seorang perempuan yang menjadi lurah desa Tawangsari di Garum sedang hamil pada saat ditangkap. Tubuhnya dibelah sebelum dibunuh. Pak Djajus, suaminya, dicacah wajahnya dengan belati hingga tewas.

Di Pare. Di tengah perjalan pulang, Suranto dan istrinya yang sedang hamil dicegat dan ditangkap. Kepala Suranto dipenggal. Sungguh malang istrinya yang hamil pun ikut dibunuh. Perut istrinya dibelah, janinnya dikeluarkan dan dicincang.

Di Gurah. Kasman, seorang guru di desa Ngasem ditangkap oleh sekelompok pemuda dan disiksa. Ketika akhirnya dia ambruk, mereka memenggal kepalanya, menusuknya pada sebilah bambu runcing dan meletakkannya di sebuah pos jaga.

Selain mereka langsung dieksekusi setelah ditangkap. Ada juga yg ditahan tanpa mengalami proses pengadilan. Banyak diantara mereka berakhir hidupnya di ujung laras eksekutor. Ada yang cepat ada pula yang lama baru dieksekusi.

Salah satu peristiwa aneh terjadi di LP Wonosobo 26 Februari 1966. 21 orang napi dibawa ke hutan Situkup pada hari itu. Di hutan itu ke 21 orang itu disuruh duduk berhadap2an dan diwajibkan menyanyi lagu Genjer-Genjer. Kemudian mereka dinasehati agar insyaf. Setelah diminta berjanji untuk tidak kembali pada PKI, selanjutnya senapan ditembakkan ke mereka.

Ada peristiwa aneh saat itu. Seorang wanita tidak mempan ditembus berondongan peluru, maka klewang disabetkan ke tubuhnya, tapi sabetan klewangpun tak mampu melukai tubuhnya bahkan hingga empat klewang patah dibuatnya. Akhirnya perempuan itu diikat tambang dan dijebloskan ke lubang dan dikubur hidup-hidup. Sempat dia berucap pada petugas yang disuruh menimbun lubang itu dengan tanah “Mas, jangan keras-keras, sakit...”. Entah kisah itu benar atau tidak, tapi pernah berkembang kala itu.

Salah satu dari 21 orang yang dieksekusi pada hari itu adalah Ibnu Santoro, seorang dosen UGM yang baru saja pulang dari Amerika. Baru beberapa hari kembali ke Jogja, Ibnu Sintoro ditawari menjadi anggota barisan cendikia PKI, selembar formulir diberikan padanya,  formulir itu masih dalam keadaan kosong saat malam serombongan tentara dalam truk menyantroni rumahnya dan menciduk dia.

Saat itu Ibnu Sintoro meninggalkan seorang istri dan puteri yang masih berusia 3 tahun bernama Gadis. Kelak Gadis menjelma menjadi wanita yang cerdas. Dan dia mendapatkan beasiswa belajar di Amerika satu almamater dengan ayahnya. Entah suatu kebetulan atau mukjizat, Gadis pernah terpilih menjadi anggota Paskribraka di Istana pada era Soeharto.

Begitu banyak kekejaman diluar batas kemanusian yang dilakukan baik oleh PKI maupun lawannya. Tak ada gunanya pula saling mengklaim paling menjadi korban atau merasa paling benar. Ini bukan tentang salah PKI atau Ansor/Banser. Yang paling perlu dilakukan adalah keikhlasan untuk mengakui sama-sama bersalah. Masyarakat seperti lupa sebagai manusia saat itu.

Hal yang cukup mencengangkan adalah kemampuan kita menjadi demikian biadab! Seolah-olah membunuh dan menyiksa adalah kebanggan. Potensi kekejaman masyarakat kita terbukti kembali terulang pada chaos era 1998-an. Mendadak kita berubah menjadi seperti binatang. Begitu mudahnya masyarakat kita termotivasi untuk melakukan hal-hal yang bertentangan akal sehat dan nurani.

Peristiwa chaos dan pembantaian serupa tidak tertutup kemungkinan akan terulang lagi pada bangsa ini. Maka yang perlu dilakukan adalah mensosialisasikan politik yang beradab. Bukan politik yang menghalalkan segala cara. Kiranya generasi muda bisa belajar dari pengalaman pahit bangsa ini. Tragedi pernah terulang dan dapat terulang lagi. Tugas kitalah untuk menghentikannya cukup sampai disini! Bersatulah demi Indonesia yang lebih maju.




Referensi: Partai Socmed

Tidak ada komentar untuk "KISAH SEPUTAR PERISTIWA PKI (DENDAM YANG HARUS BERAKHIR)"